22
Aug
07

TUGAS UAS PTK : DAMPAK NEGATIF TELEVISI

Helen Nur Luthfia

153050255

Tidak ada hari yang terlewat tanpa menonton televisi. Setiap orang pasti menghabiskan beberapa jam bahkan hampir seharian duduk dan menikmati tayangan kotak ajaib itu. Benda itu menyuguhkan berbagai acara yang beragam dan menarik tanpa kompromi. Artinya, ia hadir di tengah-tengah kita dengan sukarela, kapanpun kita ingin menikmatinya, kita hanya menekan sebuah tombol. Ditambah lagi dengan hadirnya 11 stasiun televisi nasional, seolah tidak ada kata bosan, kita merelakan setiap hari waktu kita bersamanya. Kita dapat mengetahui karakter masyarakat bangsa kita sendiri dengan ditunjukkan oleh “kegemaran” masyarakat akan program tayangan di televisi. Secara eksplisit diungkapkan, kita tidak dapat mungkiri bahwa masyarakat menyenangi tayangan berbau kekerasan, seks, dan dunia gaib. Tentu tidak bijak menyalahkan masyarakat jika menyenangi tayangan berselera rendah itu. Tanggung jawab moral mengambil peran besar membentuk karakter masyarakat. Tetapi tentu bisnis adalah permasalahan keuntungan, tanggung jawab moral dibebankan kepada masyarakat untuk menyeleksi sendiri tayangan yang sesuai “kebaikan” untuk dirinya sendiri. Setiap orang akan senang jika menonton tayangan yang disukainya di televisi. Kita mudah mengetahui kegiatan artis melalui berbagai tayangan infotainment, yang tidak pernah ada putusnya bergulir. Berbagai berita aktual di penjuru negeri dengan cepat, dan berbagai informasi yang kita butuhkan dengan mudah dan cepat. Tentu hal itu pengaruh positif televisi terhadap kehidupan kita, yaitu memudahkan kita untuk mengakses berbagai informasi yang kita butuhkan dengan cepat. Lalu bagaimana dengan pengaruh negatifnya. Tentu pengaruh negatif itu dikemas dengan tayangan menarik. Misalnya, tayangan berbagai sinetron dengan menampilkan imajinasi kekuatan dunia gaib seperti peri, jin dan makhluk gaib yang membantu tokoh utama untuk “mengalahkan” lawannya, yang biasanya diperuntukkan untuk anak-anak. Tentu saja pihak pengelola televisi berharap, ada bimbingan orang tua kepada anak terhadap tayangan ini. Tapi biasanya ini jarang terjadi karena orangtua di Indonesia justru membiarkan anaknya sendiri menonton televisi agar tidak mengganggu kegiatannya. Dapat dibayangkan, imajinasi anak akan berkembang seperti dalam sinetron itu dan hal itu jelas-jelas bertentangan dengan realitas. Ditambah lagi maraknya penayangan infotainment, anak dapat dengan mudah mengetahui masalah orang dewasa. Misalnya, percintaan, perselingkuhan, perceraian, dan lain-lain yang membuat cara berpikir anak seolah jauh di atas usia mereka yang sebenarnya. Namun tanpa konsep berpikir yang benar dan tanpa melalui tahapan proses berpikir yang berjenjang. Pengaruh negatif televisi lewat sikap hidup konsumtif mencengkeram ABG (anak baru gede), yang harus senantiasa mengikuti mode. Tentu saja ini semua menuntut biaya yang tinggi. Sampai-sampai beberapa ABG yang memaksa diri hidup dengan standar sedemikian tinggi, menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginannya. Kecenderungan lain adalah anak-anak dan para remaja merasa bergengsi bila makan makanan yang sering muncul di layar TV. Makanan fast food seperti fried chiken, pizza, hamburger, dan jenis makanan lainnya yang di negara asalnya merupakan makanan biasa menjadi makanan luar biasa (bergengsi). Anak-anak mulai tahu bahkan paham betul merek-merek dagang terkenal dan lux, termasuk merk mobil atau hp yang mungkin mustahil terjangkau oleh kocek orang tuanya. Lebih mengkhawatirkan lagi mereka lebih suka nongkrong di depan TV, dibandingkan belajar, membaca, atau mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya.

Hal-hal itu dapat mereka lihat dan pelajari dari tayangan sinetron dan film, yang mengisahkan gaya hidup mewah tanpa disertai latar belakang memadai tentang kerja keras dan jujur untuk mencapai kesuksesan. Dapat disimpulkan, ada proses belajar sosial di tengah masyarakat dan guru yang paling baik dan menarik adalah televisi. Tayangan televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film kartun. Karena jenis film ini sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini. Jika kita perhatikan, film kartun masih didominasi oleh produk film import. Tokoh seperti Batman, Superman, Popeye, Mighty Mouse, Tom and Jerry, atau Woody Woodpecker begitu akrab di kalangan anak-anak. Begitu pula film kartun Jepang, seperti Doraemon, Dragon Ball, dst. sangat populer dan bahkan mendominasi tayangan stasiun televisi kita. Sayangnya dibalik keakraban tersebut tersembunyi ancaman. Jika kita perhatikan dalam film kartun yang bertemakan kepahlawanan misalnya, pemecahan masalah tokohnya cenderung dilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan kekerasan. Cara-cara seperti ini relatif sama dilakukan oleh musuhnya (tokoh antagonis). Ini berarti tersirat pesan bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan. Idealnya, para orang tua selalu menjadi pendamping anak dalam menonton televisi. Acara-acara mana yang pantas ditonton mereka. Begitu pula mereka diberikan penjelasan mengenai adegan/peristiwa dalam film termasuk adegan fiktif. Namun masalahnya, apakah sanggup para orang tua mendampingi putra-putrinya nonton TV. Kini si kecil dimungkinkan nonton TV setiap saat dengan berbagai acara termasuk film adegan kekerasan/sadisme. Sementara itu para orang tua sibuk dengan tugas pekerjaan sehari-harinya. Oleh karena itu benteng yang paling kuat adalah bagaimana menciptakan keluarga yang harmonis. Komunikasi orang tua dan anak dituntut lancar dan berkualitas. Nilai, norma, dan ajaran agama dijadikan landasan hidup dalam keluarga. Kondisi seperti ini akan menjadi benteng yang kokoh bagi anak dalam menyaring gencarnya tayangan. Gencarnya tayangan televisi yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak membuat khawatir masyarakat terutama para orang tua. Karena manusia adalah mahluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada anak-anak dan remaja. Kekhawatiran orang tua juga disebabkan oleh kemampuan berpikir anak masih relatif sederhana. Mereka cenderung menganggap apa yang ditampilkan televisi sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana perilaku/tayangan yang fiktif dan mana yang memang kisah nyata. Mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan nilai dan norma agama dan kepribadian bangsa. Adegan kekerasan, kejahatan, konsumtif, termasuk perilaku seksual di layar televisi diduga kuat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku rakyat. Kondisi seperti ini sangatlah wajar, karena kini anak-anak mereka bisa menyaksikan acara televisi setiap saat. Tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya yang kini cenderung meningkat pada anak/remaja langsung menuding televisi sebagai biang keroknya. Tidak sedikit para orang tua mencacimaki/ protes terhadap tayangan televisi yang dirasakan kurang pas. Sementara itu para orang tua terus sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Faktor keharmonisan keluarga bisa menangkal pengaruh negatif televisi. Di sini jelas perlu adanya keseimbangan antara keluarga (orang tua) dan pihak stasiun televisi. Keluarga dituntut untuk menciptakan keharmonisan keluarga. Menjaga komunikasi dan menanamkan nilai serta norma agama pada anak. Begitupun para pengelola stasiun televisi hendaknya mempunyai tanggungjawab moral terhadap acara-acara yang ditayangkannya. Mereka hendaknya tidak sekedar mencari untung terhadap acara yang ditayangkannya. Stasiun televisi merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Mereka mempunyai tanggung-jawab untuk menjaga dan sekaligus meningkatkan nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat, termasuk mendidik anak-anak


3 Responses to “TUGAS UAS PTK : DAMPAK NEGATIF TELEVISI”


  1. 1 robby
    January 27, 2008 at 6:53 am

    thanks you was helped my life…….

  2. 2 343_lu9
    October 11, 2009 at 5:38 am

    wih hebat ……….

  3. 3 Lidya
    November 19, 2010 at 2:59 am

    makasihhh…
    keren2


Leave a comment


August 2007
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031